3 Alasan Kenapa Sekolah Perlu Menerapkan Model Blended Learning Setelah Pandemi
Seperti yang kita tau, akibat covid-19 ini pembelajaran terpaksa dilakukan secara daring. Sehingga banyak dampak dari hal tersebut pada dunia pendidikan.
Salah satu dampaknya positifnya adalah, yang mana sebelumnya kita kurang terbiasa dengan IT namun setelah pandemi kita jadi bisa terbiasa akan hal tersebut.
Contohnya, seperti pembelajaran melalui grub WA, classroom, tugas google form, membuat vidio pembelajaran, dan lain-lain.
Sehingga jika nantinya pembelajaran sudah boleh dilakukan dengan tatap muka, sangat cocok jika menggunakan model blended learning. Yaitu penggabungan pembelajaran tatap muka dengan media daring.
Banyak kemudahan yang didapat dengan menggunakan model ini, diantaranya:
- Semakin mudah berinteraksi/ diskusi antara guru dan peserta didik, tidak hanya terbatas di kelas
- Pembelajaran bisa secara online ataupun tatap muka langsung
- Memberikan fleksibilitas dalam memilih waktu dan tempat untuk mengakses pelajaran
1. Sudah banyak peserta didik yang familiar dengan internet
Alasan pertama kenapa kita bisa menerapkan blended learning adalah karena internet saat ini sudah menjadi barang sehari-hari, bahkan jadi kebutuhan.
Jika kita lihat dari hasil survei APJII pada tahun 2020, ada peningkatan jumlah pengguna intenet yang besar.
“Kalau di tahun lalu kita naik 21 juta dan tahun ini naik kita 25,5 juta,” ujar Sekretaris Jenderal APJII Henri Kasyfi Soemartono
Dari statistik tersebut bisa kita perkirakan peserta didik saat ini termasuk bagian tersebut dalam peningkatan penggunaan internet. Hal ini dikuatkan dengan penggunaan kuota dari Kemdikbud.
Meskipun tidak semuanya ya, terlebih di daerah pelosok dan minim jaringan.
Namun secara garis besar, peserta didik kita menjadi familiar dengan namanya internet.
2. Peserta didik mulai bergantung dengan internet
Alasan selanjutnya kita bisa terapkan model blended learning, karena peserta didik sudah terbiasa dan mulai tergantung dengan internet. Melalui internet, mereka sangat dimudahkan mencari informasi untuk mendukung pembelajaran, dan mengerjakan tugas-tugas sekolah.
Jika kedepan diperbolehkan tatap muka yang secara tradisionalnya tidak menerapkan pembelajaran online, bisa jadi mereka akan mengalami kesulitan dalam penyesuaian.
Seperti halnya pertama kali penerapan BDR (Belajar dari Rumah) yang mengharuskan menggunakan handphone, internet, zoom, classroom, dan lain-lain. Saat itukan juga banyak orang tua dan murid yang komplain. Dengan alasan bermacam-macam.
Nah kemungkinan bisa saja nantinya peserta didik akan mengalami kesulitan dalam peralihannya, karena sudah terbiasa dengan belajar melalui internet.
Mengutip dari suara.com,
"Kenaikan kecanduan internet pada remaja meningkat hingga 19,3 persen. Dari 2.933 remaja di 33 Provinsi yang dilakukan riset, 59 persen di antaranya juga mengaku mengalami peningkatan durasi online per hari".
- Pemberian materi lewat grub WA
- Pemberian tugas melalui google form
- mengadakan diskusi di grub WA
3. Perlu bergerak maju
"Mumpung sudah tercebur lebih baik basah sekalian". Mungkin itu perumpamaan yang cocok dengan situasi ini.
Sebelum pandemi kira-kira 20% yang bisa IT, 80% yang belum bisa. Ketika pandemi 80% yang bisa IT, 20% yang belum bisa.
Jadi mumpung kita sudah memulai, lebih baik bergerak maju.
Sebelum pandemi, internet dan handphone adalah barang mewah. Tidak dimiliki banyak peserta didik.
Namun dengan adanya pandemi ini, mereka sudah banyak menggunakan teknologi dalam belajar. Jadi kenapa tidak sekalian kita gunakan?
Memang ada dampak buruk dari internet, namun hal tersebut bisa didiskusikan dengan orang tua, misalkan dengan memberi pengawasan dan pembatasan.
Nah untuk mewujudkannya, semoga saja bantuan kuota dari Kemdikbud tidak terputus, bahkan bisa ditingkatkan. Karena sangat membantu peserta didik untuk belajar secara online nantinya.